RSS

Senin, 01 November 2010

Apakah Batal wudhunya???

Syaikh Muhammad Ibnu Shalih al ‘Utsaimin pernah ditanya tentang masalah “bila suami istri telah berwudhu dan kemudian bersentuhan, apakah wudhunya batal…?” serupa dan beliau menjawab…
“Pendapat yang benar menyentuh wanita (mahram) tidak membatalkan wudhu kecuali keluar sesuatu dari kemaluannya. Hal ini berdasar hadits shahih yang artinya,” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium salah seorang istrinya lalu melaksanakan shalat tanpa mengulangi wudhu beliau.”
Pada dasarnya tidak ada yang membatalkan wudhu kecuali terdapat dalil yang jelas lagi shahih yang menyatakan bahwa hal itu membatalkan wudhu. Dan seseorang pada dasarnya dianggap telah menyempurnakan wudhunya sesuai dalil syar’i. Dan sesuatu yang telah ditetapkan dalam dalil syar’i tidak bisa digugurkan kecuali dengan dalil syar’i pula.
Jika ada yang bertanya,” bagaimana dengan firman Allah ta’ala di QS Al Maidah ayat 6 tentang menyentuh wanita…?”
Maka yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah bersetubuh, sebagaimana datang riwayat yang shahih dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu’anhuma…”
(Fatawa wa Rosa’il Syaikh al ‘Utsaimin, VI/201)
Dukutip dari majalah AL MAWADDAH Edisi 1 Tahun ke 3, Sya’ban 1430H, Agustus 2009

Pendapat Madzhab
Para ulama berbeda pendapat, apakah wudhu seseorang batal bila bersentuhan dengan wanita yang bukan mahram-nya (yang haram dinikahinya)? Para ulama dalam hal ini telah berbeda menjadi tiga pendapat:
Pendapat pertama: Madzhab Syafi’i.1
Berkata as-Syirazi, “Menyentuh wanita dapat membatalkan wudhu. Bila seseorang menyentuh kulit wanita atau wanita menyentuh kulit pria tanpa adanya sekat, maka wudhu keduanya batal. Dasarnya (adalah) firman Allah Ta’ala,”
أٯ لمستم آلنساﺀفلم تجد واماﺀفتيمموا
Tentang hukum yang disentuh ada dua pendapat, salah satunya juga batal wudhunya. Persentuhan antara lelaki dan perempuan dapat membatalkan wudhu si penyentuh, berati juga membatalkan orang yang disentuh sebagaimana halnya ber-jima’ (berhubungan suami-istri)…2
Dalam beberapa kitab madzhab Syafi’iyah disebutkan beberapa rincian pendapat tersebut antara lain:
  • Berbeda antara orang yang memegang dan yang dipegang. Orang yang memegang batal wudhunya, sedangkan yang dipegang tidak wajib. Namun di tempat lain disebutkan tidak ada perbedaan antara keduanya, baik yang pegang atau dipegang harus berwudhu lagi.3
  • Dibedakan antara istri dan kerabat. Kalau menyentuh istri wajib berwudhu, kerabat lain tidak harus wudhu. Sementara riwayat lainnya tidak dibedakan.
Pendapat kedua: Madzhab Hanafi.4
Menyatakan bahwa wudhu menjadi batal karena sentuhan yang keji/fakhis.
Berkata Ulama Hanafiyah; “Wudhu akan batal dengan sentuhan yang fakhis, maksudnya adalah dengan bertemunya dua farji/kemaluan dengan tanpa pembatas/sekat, dengan penuh syahwat, walaupun tidak didapatkan air (madzi -red) setelahnya.
Berkata Abu Hanifah dan Abu Yusuf; “Terkecuali bila bertemunya dua farji/kemaluan sehingga menyebabkan ereksi, walaupun tidak mengeluarkan madzi.”5
Pendapat ketiga: Madzhab Maliki dan Hambali.
Yang menjadikan batal adalah sentuhan disertai dengan syahwat, kalau sekadar menyentuh (saja tanpa disertai syahwat maka) tidak membatalkan.6
Berkata Malikiyah; “Wudhu seorang yang baligh menjadi batal bila menyentuh orang lain -baik laki/wanita- dengan syahwat, walaupun yang disentuh belum baligh. Begitu juga kalau menyentuh istrinya, orang asing, atau mahram-nya, begitu pula kalau menyentuh kuku atau rambut, dengan penghalang, seperti baju… Menyentuh dengan syahwat akan membatalkan wudhu, begitu pula berciuman dengan mulut (bibir), membatalkan wudhu dalam keadaan apapun. Biasanya ciuman disertai dengan syahwat…”7
Dalam madzhab ini ada tiga riwayat:8
  • Yang dijadikan ajaran madzhab, sentuhan tidak membatalkan wudhu kecuali dengan syahwat.
  • Tidak batal, baik dengan syahwat ataupun tidak, sebagaimana dipilih Ibnu Taimiyyah.
  • Wudhunya batal bila bersentuhan, baik dengan syahwat ataupun tidak. Dikatakan pendapat ini telah dianulir.
Sebab Terjadinya Khilaf9:
  1. Kata “allams” mempunyai makna ganda dalam bahasa Arab.Ini mempengaruhi arti atau penafsiran kata “lams” dalam ayat tersebut. Orang Arab terkadang menggunakan kata “allams” untuk menyentuh menggunakan tangan dan kadang juga berarti jima’.
  2. Adanya perbedaan penafsiran diantara para Salaf. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menyatakan bahwa “almass” juga digunakan untuk selain makna jima’.10 Sementara penafsiran dari habrul-ummah Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu menyelisihi pendapat keduanya, “almass” (elusan), “allamms” (sentuhan), dan “almubasyarah” (sentuhan antar kulit) masuk dalam makna jima’.11
Dalil-dalil Rujukan:
Dalil Madzhab Hanafiyah:
Kata “lams” yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 6, bahkan ayat ini menjadi dalil bagi setiap madzhab dalam permasalahn ini. Firman Allah Ta’ala (yang artinya):
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu, Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. al-Maidah : 6)
Madzhab Abu Hanifah, mengambil pendapat penafsiran ‘Ali radhiyallahu ‘anhu dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma12 yang menyatakan bahwa “lams” dalam ayat tersebut dipahami dengan jima’, bukan sekadar bersentuhan antar kulit, ciuman, baik dengan syahwat ataupun tidak, selama tidak mengeluarkan mani atau madzi.
Berkata Ibnu Assakit; “Bahwa kata al-Lams bila disandingkan dengan kata wanita maksudnya adalah jima’. Kalau orang Arab berkata; ‘Aku telah menyentuh wanita,’ (maka) maksudnya adalah menggaulinya…”13
Dalil Madzhab Malikiyah dan Hanabilah:
  • Memadukan penafsiran ‘Ali radhiyallahu ‘anhu dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dengan beberapa atsar yang menyebutkan bahwa menyentuh tidak membatalkan wudhu. Mereka mengambil jalan tengah. Sentuhan membatalkan bila disertai syahwat, sementara kalau tanpa syahwat tidak membatalkan.Sebagian atsar atau hadits yang dijadikan dalil:
    • Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:“‘Aku pernah tidur di depan Rasu- lullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dua kakiku berada di arah kiblat. Ketika, sedang sujud Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyentuhku, maka akupun menarik dua kakiku. Kalau beliau sedang berdiri, maka aku membentangkan keduanya.’ Ia menambahkan; ‘Pada masa itu, rumah-rumah tidak ada lampunya.’”14
    • Kaum Muslimin selalu menyentuh istri-istri mereka. Namun tidak ada kutipan riwayat dari mereka yang memerintahkan umat Islam untuk mengulang(i) wudhunya. Pula, tidak ada riwayat yang dinukil dari Sahabat saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup atau riwayat dari Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu karenanya. Justru disebutkan riwayat di as-Sunan bahwasanya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium sebagian istri (beliau) dan (kemudian beliau) tidak berwudhu (lagi).”15
Derajat hadits terakhir diperdebatkan, namun semua sepakat bahwa tidak ada nukilan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wudhunya akibat bersentuhan antara kulit seorang lelaki dan wanita.16
Dalil Madzhab Syafi’iyah:
as-Shan‘ani menjelaskan; “Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa menyentuh selain mahram membatalkan wudhu, ber-hujjah dengan firman Allah; ‘Au La Mastumun-Nisaa,’ sehingga diharuskan berwudhu bila bersentuhan. Mereka juga mengatakan, yang namanya ‘lams’ hakekatnya adalah meng- gunakan tangan, hal ini dikuatkan dengan makna yang terdapat dalam qiraah (Aulamastumun-Nisaa‘a)17, zhahirnya sentuhan kepada (kulit) wanita. Sehingga penetapan lafadznya sesuai dengan makna yang hakiki. Qiraah (Au laa mastumun-nisaa‘a) demikian juga, asalnya tidak ada perbedaan di antara dua qiraah tersebut.”18
Terdapat riwayat shahih dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa “almass” (sentuhan) itu selain jima’.19
Mereka juga ber-hujjah bahwa hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah dha’if, sementara riwayat yang shahih, yang menyebutkan tentang bersentuhannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ditakwilkan sebagai sentuhan dengan memakai pembatas/sekat.20
Fatawa Ulama:
Lajnah Daimah ketika ditanya mengenai ciuman kepada istri, apakah membatalkan wudhu atau tidak, menjawab; “Pendapat yang benar bahwa mencium tidaklah membatalkan wudhu, meskipun merasakan kenikmatan/syahwat dan juga tidak membatalkan puasanya.”21
Syaikh bin Baz tentangnya menjelaskan; ”…yang benar dalam masalah ini –sesuai dalil yang ada- bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu. Baik dengan syahwat ataupun tidak, asal tidak keluar sesuatu (mani/madzi, penj). Rasul mencium sebagian istrinya, lalu beliau shalat tanpa mengulang wudhu. Secara asal, batal tidaknya thaharah, yang terlepas dari wudhu berikutnya tidak menjadi wajib kecuali dengan dalil yang selamat dari pertentangan. Para wanita banyak dijumpai di setiap rumah, yang banyak tersentuh oleh lelaki, baik istri atau saudari yang masih mahram. Seandainya sentuhan tersebut dapat membatalkan wudhu niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan dengan jelas…”22
Berkata Syaikh ‘Utsaimin; “Maka yang benar, bahwa menyentuh wanita bagaimanapun juga tidaklah membatalkan wudhu. Terkecuali bila keluar sesuatu, sehingga menjadi batal dengan sesuatu yang keluar (dari kemaluannya) tersebut.”23
Syaikh Shalih Fauzan mengatakan; “…yang lebih berhati-hati dalam masalah ini, adalah pendapat yang ketiga (yakni, bila menyentuh dengan syahwat, wudhunya batal, bila tanpa syahwat maka tidak menjadi batal). Karena dengan syahwat dimungkinkan/biasanya akan keluar sesuatu (dari kemaluannya), dan bila tanpa syahwat maka tidaklah membatalkan wudhunya, karena biasanya tidaklah keluar sesuatu.”24
Kesimpulan:
Dalam masalah ini para ulama, terutama madzhab empat imam, berbeda pendapat. Masing-masing mempunyai landasan hukum. Diluar lemah atau tidaknya landasan atau dasar tersebut, kita dituntut untuk melihat mana yang lebih kuat. Dengan mencoba menilik dalil-dalil dan alasan-alasan yang dikemukakan, kita dapat menentukan mana yang akan dipilih.
Dengan begitu diharapkan kita menjadi Muslim yang terbiasa beribadah dengan landasan ilmu dan ketakwaan, bukan karena fanatik kelompok atau sekadar kebiasaan yang telah mengakar. Kita akan ditanya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan diminta pertanggungjawaban atas segala sesuatu yang kita kerjakan.
Disusun oleh Ust. Mu’tashim, Lc.
Maraji’:
  • al-Fiqh al-Islami, Prof. DR. Wahbah Zuhaili, Darul Fikr.
  • Subulus Salam, Imam Shan‘ani, tahqiq; Muhammad Subhi Hasan Halaq, Dar Ibnul Jauzi.
  • Shahih Fiqh as-Sunnah, Abu Malik Kamal, al-Maktabah at-Tauqifiyyah.
  • Nailul-Authar, Syaukani, Darul-Hadits.
  • Mudzakirah Fiqh, Kuliah Syari’ah Jami’ah Islamiyah Madinah. DR. Abdullah Zahim.
  • Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, Darul ‘Ashimah.
  • Majmu’ Fatawa Maqalat Mutanawi‘ah, Syaikh bin Baz. Muassasah al-Haramain al-Khairiyyah.
  • Syarhul-Mumti‘, Syaikh al-’Utsaimin, Darul-Jauzi.
  • al-Muntaqa min Fatawa Syaikh Shalih Fauzan, Dar ‘As

Tidak ada komentar:

Sambil ngenet, dengerin yuukk.. ^_^

Listen to Quran